Gunung Tambora
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia.
Gunung ini terletak di dua kabupaten yaitu, kabupaten Dompu (sebagian
kaki sisi selatan sampai barat laut, dan kabupaten Bima (bagian lereng
sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur
hingga utara), provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan
118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak
oseanik. Tambora terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini
meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300 m[1] yang membuat gunung
ini sebagai salah satu puncak tertinggi di Indonesia dan mengeringkan
dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi
kembali dapur magma tersebut.
Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan April tahun 1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic
Explosivity Index.[2] Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak
letusan danau Taupo pada tahun 181.[3] Letusan gunung ini terdengar
hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di
Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan
kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000
diantaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut.[3]
Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh,
tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang
terlalu tinggi.[4] Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan
perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut
sebagai Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca
Amerika Utara dan Eropa akibat awan panas yang dihasilkan dari letusan
Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini, banyak panen yang
gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya
kelaparan terburuk pada abad ke-19.[3]
Selama penggalian arkeologi tahun 2004, tim arkeolog menemukan
sisa kebudayaan yang terkubur oleh letusan tahun 1815 di kedalaman 3
meter pada endapan piroklastik.[5] Artifak-artifak tersebut ditemukan
pada posisi yang sama ketika terjadi letusan di tahun 1815. Karena
ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai
Pompeii dari timur.
Geografi
Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa yang merupakan bagian
dari kepulauan Nusa Tenggara. Gunung ini adalah bagian dari busur
Sunda, tali dari kepulauan vulkanik yang membentuk rantai selatan
kepulauan Indonesia.[6] Tambora membentuk semenanjungnya sendiri di
pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi utara
semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan
terdapat teluk Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut
teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas
gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah
arkeolog dan biologi. Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki
gunung dan aktivitas margasatwa.[7][8] Dompu dan Bima adalah kota yang
letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora,
terdapat beberapa desa. Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di
sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di
sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung
Tambora. Rute pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di
sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui
perkebunan kacang mede sampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m
diatas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera
dengan ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan
jalur pendakian.[9] Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk
mengamati aktivitas vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam
untuk mencapai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi
barat laut gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera
hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki.[9]
Sejarah geologis
Pembentukan
Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan
180-190 km diatas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara
dan selatan kerak oseanik.[10] Gunung ini memiliki laju konvergensi
sebesar 7.8 cm per tahun.[11] Tambora diperkirakan telah berada di bumi
sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar).[2] Ketika gunung ini
meninggi akibat proses geologi di bawahnya, dapur magma yang besar ikut terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau
Mojo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi ini dimana
teluk Saleh pada awalnya merupakan cekungan samudera (sekitar 25.000
BP).[2]
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah
terbentuk sebelum letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama
dengan bentuk stratovolcano.[12] Diameter lubang tersebut mencapai 60
km.[6] Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir turun
secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Sejak letusan tahun 1815, pada bagian paling bawah terdapat
endapan lava dan material piroklastik. Kira-kira 40% dari lapisan
diwakili oleh 1-4 m aliran lava tipis.[12] Scoria tipis diproduksi oleh
fragmentasi aliran lava. Pada bagian atas, lava ditutup oleh scoria,
tuff dan bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah.[12] Pada gunung
Tambora, terdapat 20 kawah.[11] Beberapa kawah memiliki nama, misalnya
Tahe (877 m), Molo (602 m), Kadiendinae, Kubah (1648 m) dan Doro Api
Toi. Kawah tersebut juga memproduksi aliran lava basal.
[sunting] Sejarah letusan
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan
bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun
1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.[13] Perkiraan tanggal
letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150
tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang
sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi
terdapat pengecualian untuk erupsi ketiga. Pada erupsi ketiga, tidak
terdapat aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak
letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815.[13] Besar letusan ini
masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan
jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.[13]
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran
piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan
runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim global dalam
waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru
berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.[13] Aktivitas selanjutnya kemudian
terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan
kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap
sebagai bagian dari letusan tahun 1815.[3] Letusan ini masuk kedalam
skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora
kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera.[13] Letusan ini membuat
aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk
kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.[14]
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran
lava masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad
ke-20.[15] Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967,[13] yang disertai
dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi
tanpa disertai dengan ledakan.
Letusan tahun 1815
Kronologi letusan
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah
merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau
Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah
merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau
Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum
tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang merupakan
hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang
tertutup.[6] Didalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1.5-4.5 km,
larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat
pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5
kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.[6]
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan
menghasilkan awan hitam.[1] Pada tanggal 5 April 1815, erupsi terjadi,
diikuti dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km
dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km
dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung
Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada
tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang
awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.[16] Pada pagi hari
tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan
suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815.
Pada pukul 7:00 malam tangagl 10 April, letusan gunung ini semakin
kuat.[1] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.[16] Seluruh pegunungan
berubah menjadi aliran besar api.[16] Batuan apung dengan diameter 20
cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada
pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju
laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan
besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan
besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara
tangal 11 dan 17 April 1815.[1]
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5
April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut
dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh
pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah
detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos
terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada
dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada
dalam keadaan darurat.
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak di pulau Sumbawa, Indonesia.
Gunung ini terletak di dua kabupaten yaitu, kabupaten Dompu (sebagian
kaki sisi selatan sampai barat laut, dan kabupaten Bima (bagian lereng
sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur
hingga utara), provinsi Nusa Tenggara Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan
118° BT. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak
oseanik. Tambora terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini
meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300 m[1] yang membuat gunung
ini sebagai salah satu puncak tertinggi di Indonesia dan mengeringkan
dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu waktu seabad untuk mengisi
kembali dapur magma tersebut.
Aktivitas vulkanik gunung berapi ini mencapai puncaknya pada bulan April tahun 1815 ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic
Explosivity Index.[2] Letusan tersebut menjadi letusan tebesar sejak
letusan danau Taupo pada tahun 181.[3] Letusan gunung ini terdengar
hingga pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Abu vulkanik jatuh di
Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Maluku. Letusan gunung ini menyebabkan
kematian hingga tidak kurang dari 71.000 orang dengan 11.000—12.000
diantaranya terbunuh secara langsung akibat dari letusan tersebut.[3]
Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh,
tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas perkiraan yang
terlalu tinggi.[4] Lebih dari itu, letusan gunung ini menyebabkan
perubahan iklim dunia. Satu tahun berikutnya (1816) sering disebut
sebagai Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis dari cuaca
Amerika Utara dan Eropa akibat awan panas yang dihasilkan dari letusan
Tambora ini. Akibat perubahan iklim yang drastis ini, banyak panen yang
gagal dan kematian ternak di Belahan Utara yang menyebabkan terjadinya
kelaparan terburuk pada abad ke-19.[3]
Selama penggalian arkeologi tahun 2004, tim arkeolog menemukan
sisa kebudayaan yang terkubur oleh letusan tahun 1815 di kedalaman 3
meter pada endapan piroklastik.[5] Artifak-artifak tersebut ditemukan
pada posisi yang sama ketika terjadi letusan di tahun 1815. Karena
ciri-ciri yang serupa inilah, temuan tersebut sering disebut sebagai
Pompeii dari timur.
Geografi
Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa yang merupakan bagian
dari kepulauan Nusa Tenggara. Gunung ini adalah bagian dari busur
Sunda, tali dari kepulauan vulkanik yang membentuk rantai selatan
kepulauan Indonesia.[6] Tambora membentuk semenanjungnya sendiri di
pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi utara
semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan
terdapat teluk Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut
teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas
gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah
arkeolog dan biologi. Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki
gunung dan aktivitas margasatwa.[7][8] Dompu dan Bima adalah kota yang
letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora,
terdapat beberapa desa. Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di
sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di
sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung
Tambora. Rute pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di
sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui
perkebunan kacang mede sampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m
diatas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera
dengan ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan
jalur pendakian.[9] Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk
mengamati aktivitas vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam
untuk mencapai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi
barat laut gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera
hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki.[9]
Sejarah geologis
Pembentukan
Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan
180-190 km diatas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara
dan selatan kerak oseanik.[10] Gunung ini memiliki laju konvergensi
sebesar 7.8 cm per tahun.[11] Tambora diperkirakan telah berada di bumi
sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar).[2] Ketika gunung ini
meninggi akibat proses geologi di bawahnya, dapur magma yang besar ikut terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau
Mojo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi ini dimana
teluk Saleh pada awalnya merupakan cekungan samudera (sekitar 25.000
BP).[2]
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah
terbentuk sebelum letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama
dengan bentuk stratovolcano.[12] Diameter lubang tersebut mencapai 60
km.[6] Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir turun
secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Sejak letusan tahun 1815, pada bagian paling bawah terdapat
endapan lava dan material piroklastik. Kira-kira 40% dari lapisan
diwakili oleh 1-4 m aliran lava tipis.[12] Scoria tipis diproduksi oleh
fragmentasi aliran lava. Pada bagian atas, lava ditutup oleh scoria,
tuff dan bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah.[12] Pada gunung
Tambora, terdapat 20 kawah.[11] Beberapa kawah memiliki nama, misalnya
Tahe (877 m), Molo (602 m), Kadiendinae, Kubah (1648 m) dan Doro Api
Toi. Kawah tersebut juga memproduksi aliran lava basal.
[sunting] Sejarah letusan
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan
bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun
1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui.[13] Perkiraan tanggal
letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150
tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang
sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi
terdapat pengecualian untuk erupsi ketiga. Pada erupsi ketiga, tidak
terdapat aliran piroklastik.
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak
letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815.[13] Besar letusan ini
masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan
jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.[13]
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran
piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan
runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini mempengaruhi iklim global dalam
waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru
berhenti pada tanggal 15 Juli 1815.[13] Aktivitas selanjutnya kemudian
terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan
kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap
sebagai bagian dari letusan tahun 1815.[3] Letusan ini masuk kedalam
skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora
kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera.[13] Letusan ini membuat
aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk
kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.[14]
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran
lava masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad
ke-20.[15] Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967,[13] yang disertai
dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi
tanpa disertai dengan ledakan.
Letusan tahun 1815
Kronologi letusan
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah
merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau
Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah
merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau
Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum
tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang merupakan
hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang
tertutup.[6] Didalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1.5-4.5 km,
larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat
pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5
kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.[6]
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan
menghasilkan awan hitam.[1] Pada tanggal 5 April 1815, erupsi terjadi,
diikuti dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km
dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km
dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung
Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada
tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang
awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.[16] Pada pagi hari
tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan
suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815.
Pada pukul 7:00 malam tangagl 10 April, letusan gunung ini semakin
kuat.[1] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.[16] Seluruh pegunungan
berubah menjadi aliran besar api.[16] Batuan apung dengan diameter 20
cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada
pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju
laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan
besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan
besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara
tangal 11 dan 17 April 1815.[1]
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5
April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut
dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh
pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah
detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos
terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada
dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada
dalam keadaan darurat.