Lebih Hebat dari Bom Atom
Tanggal 27 Agustus nanti akan genap 123 tahun letusan dahsyat
Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27
Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02
terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.
Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu
kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai
ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih
dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi
55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih
163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian.
Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari
ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.
Dikira Meriam Apel
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor,
pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang
tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga
siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa
kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara
berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat
didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.
Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan
pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa
dunia akan kiamat saat itu.
"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai
sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya
diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca
terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai
menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh
butiran-butiran es."
"Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat.
Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan
letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai
halilintar biasa."
"Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung
Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah
beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden
di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa
menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba
dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan
sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer..."
"Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat
kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam
berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan
Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di
ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu
hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat
pijaran cahaya."
"Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di
benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam
sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan
semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet
batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka
masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat
itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini
daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan
setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan
genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika
meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau
ternyata mengecoh mereka!"
Batavia Jadi Dingin
"Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya
seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke
langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa
ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani
tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil
mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu.
Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: 'Ada gunung pecah,' kata mereka."
"Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia
mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik.
Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk
Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola
Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya."
"Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat
artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan
jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan
bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak
rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat
masih terdegar suara gemuruh."
"Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam
beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya
gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin
itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh
kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya
lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu
masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa,
melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam -
mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga
segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal."
"Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus
dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh
nampaknya fajar seperti akan
menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin
menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk
mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada
putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh
serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang
saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka
salju kelabu yang bergerak secara mekanis."
"Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin
bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas
dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada.
Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya
merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!"
"Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya
memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang
mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: 'Kemarin petang Krakatau bekerja.
Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas.
Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus.
Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti
pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang.
Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.'"
"Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat
dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung
Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah.
Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses
Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang
cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan
perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur
dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan
membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih
tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang
pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama."
"Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang,
sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit
yang kelabu."
"Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera
menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang
terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak
seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah
barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka
terputus." __________________
Tanggal 27 Agustus nanti akan genap 123 tahun letusan dahsyat
Krakatau yang sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27
Agustus 1883, bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02
terdengar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia, Filipina, dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia itu sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.
Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu
kawah Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai
ketinggian 11 km ke udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih
dari 350 km (sampai Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi
55.000 m dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih
163 desa. Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian.
Kekuatan ledakan Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari
ledakan bom hidrogen terkuat dalam percobaan.
Dikira Meriam Apel
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor,
pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara gemuruh yang
tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah tiga
siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa
kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara
berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat
didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.
Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan
pengalaman pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa
dunia akan kiamat saat itu.
"Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai
sersan pada batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya
diperintahkan bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca
terasa sangat menekan. Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai
menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh
butiran-butiran es."
"Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat.
Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan
letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai
halilintar biasa."
"Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung
Krakatau yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah
beristirahat selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden
di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa
menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba
dengan cepat: 'Di sini begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan
sendiri.' Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer..."
"Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat
kilat. Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam
berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan
Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di
ufuk barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu
hari berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat
pijaran cahaya."
"Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di
benteng (Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam
sebagai isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan
semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet
batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka
masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat
itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini
daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan
setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan
genderang dan meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika
meriam yang sebenarnya menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau
ternyata mengecoh mereka!"
Batavia Jadi Dingin
"Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya
seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke
langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa
ada badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani
tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil
mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu.
Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: 'Ada gunung pecah,' kata mereka."
"Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia
mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik.
Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk
Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola
Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya."
"Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat
artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan
jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan
bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak
rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat
masih terdegar suara gemuruh."
"Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam
beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya
gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin
itu. Waktu saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh
kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya
lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu
masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa,
melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam -
mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga
segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal."
"Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus
dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh
nampaknya fajar seperti akan
menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa makin
menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk
mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada
putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh
serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang
saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka
salju kelabu yang bergerak secara mekanis."
"Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin
bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas
dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada.
Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya
merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!"
"Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya
memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang
mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: 'Kemarin petang Krakatau bekerja.
Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas.
Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus.
Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti
pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang.
Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.'"
"Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat
dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung
Priok. Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah.
Permukaan air dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses
Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang
cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan
perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur
dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan
membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih
tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang
pasang, tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama."
"Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang,
sehingga matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit
yang kelabu."
"Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera
menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang
terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak
seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah
barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka
terputus." __________________